Thursday, August 28, 2008

Dasar-Dasar Ekonomi Perspektif Al-Qur'an

Pertama
PENELUSURAN pandangan al-Qur’an ekonomi, paling tidak meliputi tiga matra;
1. Pandangan al-Qur’an tentang manusia dalam hubunganya dengan hal-hal yang bersifat material termasuk harta benda meliputi gharizah, keinginan, kebutuhan, hingga eksistensi manusia sebagai makhluk sosial ekonomi yang beretika
2. Pandangan al-Qur’an tentang sistem dan mekanisme ekonomi, meliputi; beraneka ragam transaksi, jual beli, kerja sama ekonomi, hutang piutang, investasi, konsumsi, produksi, distribusi, dan lain-lain.
3. Pandangan al-Qur’an tentang pembangunan masyarakat menuju kesejahteraan sosial ekonomi meliputi; zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, wasiat, ghanimah, fa’i dan lain-lain

Kedua,
PENELUSURAN ilmu apapun dalam sejarah peradaban manusia biasanya berakar pada peradaban Yunani Kuno. Akar Yunani Kuno merupakan peradaban manusia yang diyakini merupakan cikal bakal terbangunnya keilmuan seperti yang dikenal sekarang. Namun demikian pemahaman itu bukan berarti sebelum era Yunani Kuno tidak dikenal peradaban manusia.
Persoalan ekonomi pada dasarnya sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Namun demikian bukti-bukti konkrit yang awal dapat diketahui dari masa Yunani Kuno. Seperti istilah ekonomi sendiri diyakini berasal dari bahasa Yunani; oikos dan nomos yang berarti pengaturan atau pengelolaan rumah tangga. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Xenophon. Namun demikian pada masa Yunani Kuno sudah ada juga teori dan pemikiran tentang uang, jasa tenaga kerja dari perbudakan dan perdagangan. Salah satu buktinya adalah dapat dilihat pada karya Plato (427-347 SM) Republika.
Konsep-konsep ekonomi jaman dahulu kala biasanya ditemukan dalam ajaran-ajaran agama, kaidah-kaidah hukum atau aturan-aturan moral. Dari kitab Hammurabi Babilonia (sekitar 1700 SM) para pakar sejarah menemukan rincian petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berekonomi. Kitab Suci yang mencerminkan negara teokrasi Hibrani Kuno, memuat banyak peringatan melawan ketamakan dan pemerasan serta menentang pendewaan kekayaan material.
Berkaca pada ajaran-ajaran agama, terutama dari qisashul qur’an, yaitu kisah-kisah para nabi dan lain-lain dalam al-Qur’an banyak ditemukan nilai-nilai perekonomian dalam kandungannya. Sebagai salah satu contoh dapat disebutkan misalnya pada kisah Nabi Yusuf dan Nabi Syua’ib terlihat jelas adanya suatu konsep ekonomi mengenai bagaimana mengelola pembendaharaan negara, konsep ekonomi yang harus dilandasi dengan suatu ukuran dan timbangan yang penuh dan adil.
Apabila kita telusuri Nabi Yusuf dimungkinkan hidup kira-kira pada 1500 SM. Hal ini didasarkan pada data Nabi Musa ketika memasuki Palestina pada 1028-933 SM. Padahal dari Nabi Musa ke Nabi Yusuf masih terhalang oleh masa Nabi Su’aib, Nabi Zulkifli dan nabi Ayyub. Belum lagi kalau kita telusuri dari ajaran Nabi Adam, misalnya dari kisah pertikaian Qabil dan Habil.
Pengungkapan fakta ini bukan dimaksudkan sebagai upaya bela diri semata-mata, tetapi membuktikan bahwa ajaran agama Islam mempunyai ketegasan dan kesadaran mengenai permasalahan ekonomi dengan kontinuitas yang panjang yang kemudian semakin tergambar secara gamblang dalam periode kehidupan Muhammad baik di Makkah dan Madinah.
Diantara gagasan tentang ekonomi yang dikembangkan oleh Plato adalah tentang keadilan dalam sebuah negara ideal. Dalam suatu negara ideal, kemajuan tergantung pada pembagian kerja yang timbul secara alamiyah dalam masyarakat. Stiap orang mempunyai sifat-sifat dan kecenderungan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya dan dengan sendirinya bidan pekerjaan yang diminati akan berbeda pula. Menurut Plato terdapat tiga jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan sebagai pengatur atau penguasa, tentara dan pekerjaan para pekerja. Bagi Plato semua manusia itu bersaudara. Plato juga termasuk yang mengecam kekayaan dan kemewahan.
Aristoteles sebagai murid Plato memiliki pemikiran ekonomi yang lebih maju lagi. Aristoteles adalah yang pertama kali memandang ekonomi sebagai satu bidang tersendiri. Ia juga yang pertama kali meletakkan dasar tentang teori nilai dan teori harga. Kontribusi yang paling besar dari Aristoteles adalah tentang pertukaran barang dan keguaan uang dalam pertukaran barang tersebut. Menurutnya kebutuhan manusia tidak terlalu banyak tetapi keinginannya relatif tanpa batas. Ia menganggap alami kegiatan produksi yang dimaksudkan untuk menghasilkan barang-barang guna memenuhi keinginan manusia yang tanpa batas, tetapi keinginan yang tanpa batas ini dianggapnya tidak alamiah.
Karena kemajuan pemikiran ekonomi Aristoteles, maka pendapat-pendapatnya menjadi dasar analisis ilmuan modern karena ia berpangkal dari data. Konsep-konsepnya mengenai ekonomi jelas-jelas didasarkan pada pengelolaan rumah tangga yang baik. Bagi Aristoteles kekayaan sejati adalah barang dan jasa yang sunguh-sungguh dubutuhkan, sedangkah selebihnya merupakan pemborosan.
Selain Plato dan Aristoteles, pemikir Yunani Kuno yang patut disimak pemikirannya adalah Xenophon (440-355 SM). Dalam karya utamanya yang berjudul On the Means of Improving the Revenue of the state of Athens diuraikan bahwa negara Athena yang mempunyai beberapa kelebihan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan negara. Athena adalah kota pusat perdagangan yang memilikiiklim sangat nyaman. Tanahnya subur dan mengandung deposit emas dan perak dalam jumlah yang banyak. Dengan kelebihan ini bagi Xenophon Athena berpotensi untuk menarik para pedagang dan pengunjung dari daerah-daerah lain. Para pengunjung ini bagi Xenophon harus dilayani dengan baik. Semakin baik pelayanan maka semakin banyak orang yang berdagang dan berkunjung.
Dalam konteks pemikiran ekonomi Kaum Skolastik, yang tumbuh ketika masyarakat petani beralih memulai proses industrialisasi di Eropa, bercirikan kuatnya hubungan antara ekonomi dengan masalah etis serta besarnya perhatian pada masalah keadilan. Hal ini logis, karena ajaran-ajaran ekonomi skolastik dipengarui oleh gereja. St. Albertus Magnus (1206-1280) seorang filsuf-religius Jerman dan St. Thomas Aquinas teolog-filsuf Italia (1225-1274) merupakan dua tokoh kunci aliran ini. Pandangan Albertus yang terkenal adalah pemikirannya tentang harga yang adil dan pantas (just price) yaitu harga yang sama besarnya dengan biaya-biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk menciptakan suatu barang. Atas dasar harga yang pantas ini, maka aktivitas tukar menukar barang harus menyertakan unsur etis.
Adapun salah satu pemikiran ekonomi Aquinas yang terkenal adalah kutukannya atas bunga yang dianggap sebagai riba dan orang yang memperanakkan uang disebut sebagai pendosa. Dalam karyanya yang terkenal yaitu summa theologica, ia menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang dipinjamkan adalah tidak adil, sebab sama artinya dengan menjual sesuatu yang tidak ada.
Ilmu ekonomi selalu dihadapkan dengan persoalan riel permasalahan ekonomi yang dihadapi manusia. Khusus pada masa kini dan terutama di Indonesia, sedang dibutuhkan suatu cara pandang baru mengenai ilmu ekonomi atau sistem ekonomi yang lebih dapat menjanjikan kesejahteraan yang adil. Ilmu dan sistem ekonomi yang ada dianggap telah mapan, bahkan talah “jenuh” sehingga tidak jarang dianggap sudah cukup dan tidak dapat dirubah Dalam bahasa lugas Prof Mubyarto, sistem ekonomi telah dianggap sebagai agama (economics as religions). Padahal ilmu ekonomi yang telah mapan itu dan diajarkan di negeri ini bersumber terutama dari era Neo-Klasik yang di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sesuai dengan realitas riel perekonomian masyarakat Indonesia. Pada titik inilah, diperlukannya suatu kritik ulang atau cara pandang baru terhadap ilmu ekonomi. Dalam konteks ini pula eksistensi ekonomi Islam kemudian dapat dijadikan sebagai system alternatif yang dibutuhkan segera.

Ketiga,
PEMIKIRAN dan praktek ekonomi Islam sudah diawali sejak sebelum Muhammad SAW dipilih menjadi seorang Rasul. Bahkan dapat dikatakan praktek ekonomi Islam telah pula dipraktekkan oleh para Nabi utusan Allah. Dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Syu’aib secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an, bahwa perekonomian harus dilakukan dengan cara yang adil, jauh dari kebohongan, penipuan seperti pengurangan timbangan, takaran dan lain-lain. Secara nyata pula Rasulullah SAW sendiri banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan praktek perekonomian, sekaligus dicontohkan oleh Beliau sendiri. Demikian pula para pengganti Nabi pun yaitu Khulafaurrasyidin memfokuskan perhatiannya dalam bidang perekonomian terutama untuk kesejahteraan rakyat yang bertumpu dari keadilan pemerintahan.
Dengan persfektif demikian, sistem ekonomi Islam dapat dikatakan telah terbentuk secara berkala sebagai subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam sebagai agama keadilan. Berbagai karya tulis para pengkaji al-Qur’an, ahli hukum, sejarahwan, filosof dan lain-lain, telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad-abad yang lampau, walaupun pada kenyataannya para cendekiawan tersebut belum memfokuskan pemikirannya secara berdiri sendiri dalam kajian ilmu ekonomi. Kejayaan Islam dalam peradabannya pada beberapa fase sejarah merupakan bukti yang tidak dapat dilepaskan dari sumbangsih para ulama dan cendekia tersebut.
Al-Qur’an tidak memberi peluang sedikitpun terhadap adanya pengangguran (al-Insyirah(94): 7. Dengan demikian, hidup ini harus dijalankan dengan kerja keras yang dilandasi keimanan.Hal ini bermakna hubungan iman dan kerja bagaikan hubungan akar, tumbuhan dan buahnya.. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya sendiri” “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya”
Keempat,
Dalam ilmu ekonomi, adanya aktivitas ekonomi karena adanya need dan want pada diri manusia. Dalam al-Qur’an hal ini disebut fitrah yang dihiaskan yaitu, hubbu asy-syahawat. Dengan fitrah ini, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain. Namun harus dicatat bahwa syahwat pada manusia pada dasarnya mengarah kepada keburukan, karena itu diperlukan suatu cara pandang ekonomi dan bisnis yang bervisi profetik.
Sebagai contoh dari istilah tijarah saja yang tersebut sembilan kali dalam al-Qur’an, telah tegas bagaimana pandangan al-Qur’an tentang ekonomi dan bisnis sekaligus etika bisnis yang inhern di dalamnya. Tijarah bermakna berdagang atau berniaga. Menurut ar-Ragib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, tijarah berarti pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Demikian pula menurut Ibnu Arabi, seperti dikutip ar-Ragib, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Demikianlah sedikit diantara ajaran al-Qur’an tentang ekonomi dan bisnis. Paparan ini sama sekali belum mewakili kuatnya kandungan al-Qur’an dalam bidang ekonomi dan bisnis. Kuatnya dukungan al-Qur’an mendorong peminat ekonomi Islam untuk semakin dekat dengan al-Qur’an.
Untuk memahami lebih lanjut tentang dasar-dasar ilmu ekonomi dan perekonomian dalam al-Qur’an, penelusuran terhadap ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang ekonomi dalam pengertiannya yang luas, merupakan pendekatan yang tepat dan layak untuk dikembangkan dengan suatu pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an misalnya.
Diantara ayat-ayat yang termasuk dalam konteks ini adalah Ali Imran(3):14, an-Nisa(4): 5 dan 32, arRum(30): 37, al-Jumuah(62):10
Surat ali-Imran(3):14 memperlihatkan sifat dasariah manusia yang tidak dapat lepas dari harta benda dan lain-lain yang bersifat material. Pada ayat ini, secara tegas disebutkan bahwa dihiaskan pada manusia hubbussyahawat. Hubb adalah rasa cinta yang mendalam. Sedangkan asy-Syahawat adaah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi atau material(Quraish Shihab,2004).
Dalam ilmu ekonomi, disebutkan adanya aktivitas ekonomi karena adanya need dan want pada diri manusia. Fitrah manusia yang disebut, hubbu asy-syahawat, itu kiranya mempunyai kandungan yang lebih dari sekedar need and want tersebut. Dengan fitrah ini, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Namun yang harus dicatat bahwa syahwat dalam diri manusia itu, dicatat oleh al-Qur’an pada dasarnya mengarah kepada keburukan,( QS al-A’raf(7): 81, an-Naml(27): 55, an-Nisa(4): 27, Maryam(19), 59). Dalam surat al-A’raf ayat 81 dan an-Naml ayat 55, mengisahkan tentang kaum Nabi Luth yang lebih suka melampiaskan hawa nafsunya kepada sesama jenis. Dalam an-Nisa(4): 27 menggambarkan orang-orang yang cenderung mengikuti hawa nafsunya dan berupaya berpaling jauh dari Allah.Dan dalam surat Maryam ayat 59 menggambarkan suatu generasi yang mengabaikan kewajiban shalat dan mengikuti hawa nafsu. Atas dasar gambaran syahwat demikian, maka diperlukan suatu cara pandang ekonomi dan bisnis yang bervisi profetik.
Kehidupan ini harus dijalankan dengan kerja keras dan keimanan. Hal ini bermakna, hubungan iman dan kerja bagaikan hubungan akar, tumbuhan dan buahnya. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya sendiri” “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya” Berdasar hubungan ini, maka ekonomi dan bisnis harus dilakukan setelah melakukan shalat sebagaimana tersurat dalam QS al-Jumu’ah(62): 9.
Minannisa wal banina, kecintaan laki-laki kepada wanita dan kecintaan wanita kepada laki-laki, serta kecintaan orang tua kepada anak-anaknya baik lakai-laki maupun perempuan.
Adapun qanatir, jamak dari kata qintar, merupakan sejumlah harta yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup dan membelanjakannya guna meraih kenyamanan. Adz-dzhab walfiddah, wa;khailil musawwamah wal-an’am wal harts: emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak, dan sawah ladang (tanah atau proverti) merupakan bagian atau sebagian dari jenis-jenis harta benda yang dicintai manusia. Penyebutan al-harts di akhir susunan harta benda menunjukkan bahwa untuk menghasilkan produksi dari sawah ladang diperlukan usaha yang ekstra mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan penjualan hasil.
Semua yang dicintai manusia pada dasarnya merupakan kesenangan duniawi yang bersifat tidak kekal, karena yang kekal secara hakiki adalah tempat kembali yaitu pada Allah.
Pandangan al-Qur’an tentang harta benda dapat dipelajari juga dari surat Annisa ayat 5. Dalam ayat ini disebutkan janganlah memberikan atau mengamanahkan atau menginvestasikan harta bendamu kepada assufaha(orang-orang yang belum cakap, kurang keahlian atau tidak profesional), karena harta benda itu berfungsi sebagai qiyama (tiang hidup bagi manusia, pokok kehidupan atau modal dasar kehidupan). Seharusnya jadikanlah dari modal harta itu, berkembang atau dikembangkan sehingga kamu dapat memberikan rezeki dan pakaian kepada mereka tanpa mengurangi modal harta. (warzuquhum fiha, bukan warzuquhum minha).
Dalam surat al-baqarah ayat 180, harta benda disebut oleh al-Qur’an sebagai khairan: (Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadukum almautu in tara khairan). Ini membawa konsekuensi bahwa dalam upaya mencari atau berusaha mencapai harta benda dan atau mengembangkannya harus dengan cara-cara yang baik. Hal ini ditegaskan lagi dalam surat an-Nisa ayat 29 (La ta’kulu amwalakum bainakum bil batil)
Dalam hal terdapat orang yang mempunyai kecukupan harta benda dan kekurangan harta benda al-Qur’an mengajarkan agar kita tidak cemburu terhadap kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Harta benda di sini disebut sebagai: (ma fadhdhalallau: harta benda atau sejenisnya yang merupakan karunia Allah). Pada ayat ini tersebut kata ma ktasabu dan maktasabna: dari apa-apa yang diusahakan oleh laki-laki dan apa-apa yang diusahakan perempuan. Kata Iktasabu dan Iktasabna, bermakna daya usaha atau kerja yang serius dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, kelebihan atau kecukupan harta benda yang kita miliki sangat bergantung kepada nilai dan kualitas pekerjaan yang kita lakukan.

No comments: