Thursday, August 28, 2008

Dasar-Dasar Ekonomi Perspektif Al-Qur'an

Pertama
PENELUSURAN pandangan al-Qur’an ekonomi, paling tidak meliputi tiga matra;
1. Pandangan al-Qur’an tentang manusia dalam hubunganya dengan hal-hal yang bersifat material termasuk harta benda meliputi gharizah, keinginan, kebutuhan, hingga eksistensi manusia sebagai makhluk sosial ekonomi yang beretika
2. Pandangan al-Qur’an tentang sistem dan mekanisme ekonomi, meliputi; beraneka ragam transaksi, jual beli, kerja sama ekonomi, hutang piutang, investasi, konsumsi, produksi, distribusi, dan lain-lain.
3. Pandangan al-Qur’an tentang pembangunan masyarakat menuju kesejahteraan sosial ekonomi meliputi; zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, wasiat, ghanimah, fa’i dan lain-lain

Kedua,
PENELUSURAN ilmu apapun dalam sejarah peradaban manusia biasanya berakar pada peradaban Yunani Kuno. Akar Yunani Kuno merupakan peradaban manusia yang diyakini merupakan cikal bakal terbangunnya keilmuan seperti yang dikenal sekarang. Namun demikian pemahaman itu bukan berarti sebelum era Yunani Kuno tidak dikenal peradaban manusia.
Persoalan ekonomi pada dasarnya sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Namun demikian bukti-bukti konkrit yang awal dapat diketahui dari masa Yunani Kuno. Seperti istilah ekonomi sendiri diyakini berasal dari bahasa Yunani; oikos dan nomos yang berarti pengaturan atau pengelolaan rumah tangga. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Xenophon. Namun demikian pada masa Yunani Kuno sudah ada juga teori dan pemikiran tentang uang, jasa tenaga kerja dari perbudakan dan perdagangan. Salah satu buktinya adalah dapat dilihat pada karya Plato (427-347 SM) Republika.
Konsep-konsep ekonomi jaman dahulu kala biasanya ditemukan dalam ajaran-ajaran agama, kaidah-kaidah hukum atau aturan-aturan moral. Dari kitab Hammurabi Babilonia (sekitar 1700 SM) para pakar sejarah menemukan rincian petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berekonomi. Kitab Suci yang mencerminkan negara teokrasi Hibrani Kuno, memuat banyak peringatan melawan ketamakan dan pemerasan serta menentang pendewaan kekayaan material.
Berkaca pada ajaran-ajaran agama, terutama dari qisashul qur’an, yaitu kisah-kisah para nabi dan lain-lain dalam al-Qur’an banyak ditemukan nilai-nilai perekonomian dalam kandungannya. Sebagai salah satu contoh dapat disebutkan misalnya pada kisah Nabi Yusuf dan Nabi Syua’ib terlihat jelas adanya suatu konsep ekonomi mengenai bagaimana mengelola pembendaharaan negara, konsep ekonomi yang harus dilandasi dengan suatu ukuran dan timbangan yang penuh dan adil.
Apabila kita telusuri Nabi Yusuf dimungkinkan hidup kira-kira pada 1500 SM. Hal ini didasarkan pada data Nabi Musa ketika memasuki Palestina pada 1028-933 SM. Padahal dari Nabi Musa ke Nabi Yusuf masih terhalang oleh masa Nabi Su’aib, Nabi Zulkifli dan nabi Ayyub. Belum lagi kalau kita telusuri dari ajaran Nabi Adam, misalnya dari kisah pertikaian Qabil dan Habil.
Pengungkapan fakta ini bukan dimaksudkan sebagai upaya bela diri semata-mata, tetapi membuktikan bahwa ajaran agama Islam mempunyai ketegasan dan kesadaran mengenai permasalahan ekonomi dengan kontinuitas yang panjang yang kemudian semakin tergambar secara gamblang dalam periode kehidupan Muhammad baik di Makkah dan Madinah.
Diantara gagasan tentang ekonomi yang dikembangkan oleh Plato adalah tentang keadilan dalam sebuah negara ideal. Dalam suatu negara ideal, kemajuan tergantung pada pembagian kerja yang timbul secara alamiyah dalam masyarakat. Stiap orang mempunyai sifat-sifat dan kecenderungan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya dan dengan sendirinya bidan pekerjaan yang diminati akan berbeda pula. Menurut Plato terdapat tiga jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan sebagai pengatur atau penguasa, tentara dan pekerjaan para pekerja. Bagi Plato semua manusia itu bersaudara. Plato juga termasuk yang mengecam kekayaan dan kemewahan.
Aristoteles sebagai murid Plato memiliki pemikiran ekonomi yang lebih maju lagi. Aristoteles adalah yang pertama kali memandang ekonomi sebagai satu bidang tersendiri. Ia juga yang pertama kali meletakkan dasar tentang teori nilai dan teori harga. Kontribusi yang paling besar dari Aristoteles adalah tentang pertukaran barang dan keguaan uang dalam pertukaran barang tersebut. Menurutnya kebutuhan manusia tidak terlalu banyak tetapi keinginannya relatif tanpa batas. Ia menganggap alami kegiatan produksi yang dimaksudkan untuk menghasilkan barang-barang guna memenuhi keinginan manusia yang tanpa batas, tetapi keinginan yang tanpa batas ini dianggapnya tidak alamiah.
Karena kemajuan pemikiran ekonomi Aristoteles, maka pendapat-pendapatnya menjadi dasar analisis ilmuan modern karena ia berpangkal dari data. Konsep-konsepnya mengenai ekonomi jelas-jelas didasarkan pada pengelolaan rumah tangga yang baik. Bagi Aristoteles kekayaan sejati adalah barang dan jasa yang sunguh-sungguh dubutuhkan, sedangkah selebihnya merupakan pemborosan.
Selain Plato dan Aristoteles, pemikir Yunani Kuno yang patut disimak pemikirannya adalah Xenophon (440-355 SM). Dalam karya utamanya yang berjudul On the Means of Improving the Revenue of the state of Athens diuraikan bahwa negara Athena yang mempunyai beberapa kelebihan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan negara. Athena adalah kota pusat perdagangan yang memilikiiklim sangat nyaman. Tanahnya subur dan mengandung deposit emas dan perak dalam jumlah yang banyak. Dengan kelebihan ini bagi Xenophon Athena berpotensi untuk menarik para pedagang dan pengunjung dari daerah-daerah lain. Para pengunjung ini bagi Xenophon harus dilayani dengan baik. Semakin baik pelayanan maka semakin banyak orang yang berdagang dan berkunjung.
Dalam konteks pemikiran ekonomi Kaum Skolastik, yang tumbuh ketika masyarakat petani beralih memulai proses industrialisasi di Eropa, bercirikan kuatnya hubungan antara ekonomi dengan masalah etis serta besarnya perhatian pada masalah keadilan. Hal ini logis, karena ajaran-ajaran ekonomi skolastik dipengarui oleh gereja. St. Albertus Magnus (1206-1280) seorang filsuf-religius Jerman dan St. Thomas Aquinas teolog-filsuf Italia (1225-1274) merupakan dua tokoh kunci aliran ini. Pandangan Albertus yang terkenal adalah pemikirannya tentang harga yang adil dan pantas (just price) yaitu harga yang sama besarnya dengan biaya-biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk menciptakan suatu barang. Atas dasar harga yang pantas ini, maka aktivitas tukar menukar barang harus menyertakan unsur etis.
Adapun salah satu pemikiran ekonomi Aquinas yang terkenal adalah kutukannya atas bunga yang dianggap sebagai riba dan orang yang memperanakkan uang disebut sebagai pendosa. Dalam karyanya yang terkenal yaitu summa theologica, ia menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang dipinjamkan adalah tidak adil, sebab sama artinya dengan menjual sesuatu yang tidak ada.
Ilmu ekonomi selalu dihadapkan dengan persoalan riel permasalahan ekonomi yang dihadapi manusia. Khusus pada masa kini dan terutama di Indonesia, sedang dibutuhkan suatu cara pandang baru mengenai ilmu ekonomi atau sistem ekonomi yang lebih dapat menjanjikan kesejahteraan yang adil. Ilmu dan sistem ekonomi yang ada dianggap telah mapan, bahkan talah “jenuh” sehingga tidak jarang dianggap sudah cukup dan tidak dapat dirubah Dalam bahasa lugas Prof Mubyarto, sistem ekonomi telah dianggap sebagai agama (economics as religions). Padahal ilmu ekonomi yang telah mapan itu dan diajarkan di negeri ini bersumber terutama dari era Neo-Klasik yang di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sesuai dengan realitas riel perekonomian masyarakat Indonesia. Pada titik inilah, diperlukannya suatu kritik ulang atau cara pandang baru terhadap ilmu ekonomi. Dalam konteks ini pula eksistensi ekonomi Islam kemudian dapat dijadikan sebagai system alternatif yang dibutuhkan segera.

Ketiga,
PEMIKIRAN dan praktek ekonomi Islam sudah diawali sejak sebelum Muhammad SAW dipilih menjadi seorang Rasul. Bahkan dapat dikatakan praktek ekonomi Islam telah pula dipraktekkan oleh para Nabi utusan Allah. Dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Syu’aib secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an, bahwa perekonomian harus dilakukan dengan cara yang adil, jauh dari kebohongan, penipuan seperti pengurangan timbangan, takaran dan lain-lain. Secara nyata pula Rasulullah SAW sendiri banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan praktek perekonomian, sekaligus dicontohkan oleh Beliau sendiri. Demikian pula para pengganti Nabi pun yaitu Khulafaurrasyidin memfokuskan perhatiannya dalam bidang perekonomian terutama untuk kesejahteraan rakyat yang bertumpu dari keadilan pemerintahan.
Dengan persfektif demikian, sistem ekonomi Islam dapat dikatakan telah terbentuk secara berkala sebagai subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam sebagai agama keadilan. Berbagai karya tulis para pengkaji al-Qur’an, ahli hukum, sejarahwan, filosof dan lain-lain, telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad-abad yang lampau, walaupun pada kenyataannya para cendekiawan tersebut belum memfokuskan pemikirannya secara berdiri sendiri dalam kajian ilmu ekonomi. Kejayaan Islam dalam peradabannya pada beberapa fase sejarah merupakan bukti yang tidak dapat dilepaskan dari sumbangsih para ulama dan cendekia tersebut.
Al-Qur’an tidak memberi peluang sedikitpun terhadap adanya pengangguran (al-Insyirah(94): 7. Dengan demikian, hidup ini harus dijalankan dengan kerja keras yang dilandasi keimanan.Hal ini bermakna hubungan iman dan kerja bagaikan hubungan akar, tumbuhan dan buahnya.. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya sendiri” “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya”
Keempat,
Dalam ilmu ekonomi, adanya aktivitas ekonomi karena adanya need dan want pada diri manusia. Dalam al-Qur’an hal ini disebut fitrah yang dihiaskan yaitu, hubbu asy-syahawat. Dengan fitrah ini, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain. Namun harus dicatat bahwa syahwat pada manusia pada dasarnya mengarah kepada keburukan, karena itu diperlukan suatu cara pandang ekonomi dan bisnis yang bervisi profetik.
Sebagai contoh dari istilah tijarah saja yang tersebut sembilan kali dalam al-Qur’an, telah tegas bagaimana pandangan al-Qur’an tentang ekonomi dan bisnis sekaligus etika bisnis yang inhern di dalamnya. Tijarah bermakna berdagang atau berniaga. Menurut ar-Ragib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, tijarah berarti pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Demikian pula menurut Ibnu Arabi, seperti dikutip ar-Ragib, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Demikianlah sedikit diantara ajaran al-Qur’an tentang ekonomi dan bisnis. Paparan ini sama sekali belum mewakili kuatnya kandungan al-Qur’an dalam bidang ekonomi dan bisnis. Kuatnya dukungan al-Qur’an mendorong peminat ekonomi Islam untuk semakin dekat dengan al-Qur’an.
Untuk memahami lebih lanjut tentang dasar-dasar ilmu ekonomi dan perekonomian dalam al-Qur’an, penelusuran terhadap ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang ekonomi dalam pengertiannya yang luas, merupakan pendekatan yang tepat dan layak untuk dikembangkan dengan suatu pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an misalnya.
Diantara ayat-ayat yang termasuk dalam konteks ini adalah Ali Imran(3):14, an-Nisa(4): 5 dan 32, arRum(30): 37, al-Jumuah(62):10
Surat ali-Imran(3):14 memperlihatkan sifat dasariah manusia yang tidak dapat lepas dari harta benda dan lain-lain yang bersifat material. Pada ayat ini, secara tegas disebutkan bahwa dihiaskan pada manusia hubbussyahawat. Hubb adalah rasa cinta yang mendalam. Sedangkan asy-Syahawat adaah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi atau material(Quraish Shihab,2004).
Dalam ilmu ekonomi, disebutkan adanya aktivitas ekonomi karena adanya need dan want pada diri manusia. Fitrah manusia yang disebut, hubbu asy-syahawat, itu kiranya mempunyai kandungan yang lebih dari sekedar need and want tersebut. Dengan fitrah ini, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Namun yang harus dicatat bahwa syahwat dalam diri manusia itu, dicatat oleh al-Qur’an pada dasarnya mengarah kepada keburukan,( QS al-A’raf(7): 81, an-Naml(27): 55, an-Nisa(4): 27, Maryam(19), 59). Dalam surat al-A’raf ayat 81 dan an-Naml ayat 55, mengisahkan tentang kaum Nabi Luth yang lebih suka melampiaskan hawa nafsunya kepada sesama jenis. Dalam an-Nisa(4): 27 menggambarkan orang-orang yang cenderung mengikuti hawa nafsunya dan berupaya berpaling jauh dari Allah.Dan dalam surat Maryam ayat 59 menggambarkan suatu generasi yang mengabaikan kewajiban shalat dan mengikuti hawa nafsu. Atas dasar gambaran syahwat demikian, maka diperlukan suatu cara pandang ekonomi dan bisnis yang bervisi profetik.
Kehidupan ini harus dijalankan dengan kerja keras dan keimanan. Hal ini bermakna, hubungan iman dan kerja bagaikan hubungan akar, tumbuhan dan buahnya. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya sendiri” “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya” Berdasar hubungan ini, maka ekonomi dan bisnis harus dilakukan setelah melakukan shalat sebagaimana tersurat dalam QS al-Jumu’ah(62): 9.
Minannisa wal banina, kecintaan laki-laki kepada wanita dan kecintaan wanita kepada laki-laki, serta kecintaan orang tua kepada anak-anaknya baik lakai-laki maupun perempuan.
Adapun qanatir, jamak dari kata qintar, merupakan sejumlah harta yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup dan membelanjakannya guna meraih kenyamanan. Adz-dzhab walfiddah, wa;khailil musawwamah wal-an’am wal harts: emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang ternak, dan sawah ladang (tanah atau proverti) merupakan bagian atau sebagian dari jenis-jenis harta benda yang dicintai manusia. Penyebutan al-harts di akhir susunan harta benda menunjukkan bahwa untuk menghasilkan produksi dari sawah ladang diperlukan usaha yang ekstra mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan penjualan hasil.
Semua yang dicintai manusia pada dasarnya merupakan kesenangan duniawi yang bersifat tidak kekal, karena yang kekal secara hakiki adalah tempat kembali yaitu pada Allah.
Pandangan al-Qur’an tentang harta benda dapat dipelajari juga dari surat Annisa ayat 5. Dalam ayat ini disebutkan janganlah memberikan atau mengamanahkan atau menginvestasikan harta bendamu kepada assufaha(orang-orang yang belum cakap, kurang keahlian atau tidak profesional), karena harta benda itu berfungsi sebagai qiyama (tiang hidup bagi manusia, pokok kehidupan atau modal dasar kehidupan). Seharusnya jadikanlah dari modal harta itu, berkembang atau dikembangkan sehingga kamu dapat memberikan rezeki dan pakaian kepada mereka tanpa mengurangi modal harta. (warzuquhum fiha, bukan warzuquhum minha).
Dalam surat al-baqarah ayat 180, harta benda disebut oleh al-Qur’an sebagai khairan: (Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadukum almautu in tara khairan). Ini membawa konsekuensi bahwa dalam upaya mencari atau berusaha mencapai harta benda dan atau mengembangkannya harus dengan cara-cara yang baik. Hal ini ditegaskan lagi dalam surat an-Nisa ayat 29 (La ta’kulu amwalakum bainakum bil batil)
Dalam hal terdapat orang yang mempunyai kecukupan harta benda dan kekurangan harta benda al-Qur’an mengajarkan agar kita tidak cemburu terhadap kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Harta benda di sini disebut sebagai: (ma fadhdhalallau: harta benda atau sejenisnya yang merupakan karunia Allah). Pada ayat ini tersebut kata ma ktasabu dan maktasabna: dari apa-apa yang diusahakan oleh laki-laki dan apa-apa yang diusahakan perempuan. Kata Iktasabu dan Iktasabna, bermakna daya usaha atau kerja yang serius dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, kelebihan atau kecukupan harta benda yang kita miliki sangat bergantung kepada nilai dan kualitas pekerjaan yang kita lakukan.

Pokok-Pokok Pemikiran Abu Yusuf

IMAM ABU YUSUF
( 113 – 182 H / 731 – 798 M )


Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara.
Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad-abad yang lampau. Walaupun, pada kenyataannya para cendekiawan tersebut tidak memfokuskan pemikirannya dalam kajian ilmu ekonomi. Keadaan ini mengantarkan Islam pada masa kejayaannya dimana telah banyak memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap peradaban dunia.
Salah satu pemikir ekonomi Islam pada masa klasik adalah Abu Yusuf.

I. Latar Belakang Sosial

Nama lengkap Abu Yusuf adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al Ansari. Ia lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H). Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Sejak Abu Yusuf masih kecil, beliau mempunyai minat ilmiah yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang lemah, maka beliau bekerja mencari nafkah.
Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlulhadis dan ahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadist. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.
Hadist yang diriwayatkannya diperoleh dari guru-gurunya, antara lain Abi Ishaq al Syaibani, Sulaiman al Taymi, Yahya bin Said al Ansari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Ata’ bin Sa’ib, dan Muhammad Sihaq bin Yasir.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karier keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M beliapun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga beliau memegang jabatan dalam kehakiman.
Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M.

II. Capaian Karir

Abu Yusuf adalah seorang mufti pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid. Jabatan penting yang pernah diamanahi pada Abu Yusuf :

1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Abbasiyah, al Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun 169-170 H/785-786 M. Jabatan yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya.

2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H/786-809 M, beliau menjabat sebagai ketua para hakim (Qadi al Qudah, seperti ketua Mahkamah Agung pada masa sekarang) pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah sampai pada masa Khalifah al Mahdi dari Daulah Abbasiyah. Pada masa ini, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para hakim di seluruh negeri.

III. Keahlian Bidang

Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena kertertarikan beliau dalam bidang fikih, beliaupun belajar pada Imam Abu Hanifah. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi.
Beliaupun banyak mempelajari hadist dan meriwayatkan hadist. Banyak diantara para ahli hadist yang memuji kemampuannya dalam periwayatan hadist.

IV. Pokok-pokok Pemikiran dalam Bidang Ekonomi

Sejak awal, pemikiran ekonomi Islam terfokus pada penekanan terhadap tanggung jawab penguasa. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat yang panjang yang dikirimkannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Abu Yusuf menyatakan bahwa :
Anda tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak akan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Allah akan menanyakan Anda mengenai segala sesuatu yang Anda miliki dan apa yang Anda lakukan terhadapnya.
Atas permintaan khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf menyusun Kitab al-Kharaj untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan sistem perpajakan yaitu menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah.
Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilikan mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim.
Ushr adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun non muslim yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah, yang dibayar hanya sekali dalam setahun. Untuk pengelolaan zakat pertanian ditentukan sebagai berikut, jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi ditentukan 5 persen dan jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi tadah hujan ditentukan 10 persen. Bea cukai untuk pedagang muslim dikenakan 2,5 persen sedangkan untuk orang-orang yang dilindungi dikenakan 5 persen.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang hidup di negara dan pemerintahan Islam sebagai imbalan atas perlindungan hukum, kemerdekaan, keselamatan jiwa dan harta mereka.

Dalam Kitab al-Kharaj pemikiran Abu Yusuf mencakup berbagai bidang, antara lain :

1. Tentang pemerintahan, dimana Abu Yusuf mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Seorang khalifah adalah wakil Allah yang ditugaskan dibumi untuk melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu, harus bertindak atas nama Allah SWT. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat popular, yaitu tasarruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka).
2. Tentang keuangan, Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
3. Tentang pertanahan, Abu Yusuf berpendapat bahwa tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
4. Tentang perpajakan, Abu Yusuf berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.
5. Tentang peradilan, Abu Yusuf mengatakan bahwa suatu peradilan adalah keadilan yang murni, menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat (sesuatu yang tidak pasti). Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum.
Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi menitikberatkan pada bidang perpajakan dan tanggung jawab negara dalam bidang ekonomi. Sumbangan pemikirannya terletak pada pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pemungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Terkait dengan keadilan, kepada khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Yusuf mengatakan :
Mengantarkan keadilan kepada mereka yang disakiti dan menghapuskan kezaliman akan meningkatkan penghasilan, mempercepat pembangunan negara, dan membawa keberkahan, disamping mendapatkan pahala di akhirat.

Dalam teori yang lain, Abu Yusuf juga menunjukkan sejumlah aturan-aturan yang mengatur perpajakan, seperti kemampuan untuk membayar, kebijakan dalam penentuan waktu pemungutan serta pemusatan pengambilan keputusan dalam pengadministrasian pajak.
Abu Yusuf menganjurkan model pajak yang proporsional atas hasil produksi tanah yang dianggapnya sebagai metode yang jujur dan seimbang bagi kedua belah pihak dalam keadaan hasil panen yang baik maupun yang buruk. Seperti dalam kasus kharaj, apabila nilai pajak tetap sementara terjadi penurunan produksi, maka ada kemungkinan membebani si wajib pajak yang akan mengakibatkan negara kehilangan penghasilan potensial yang sangat baik. Karena pada saat itu si wajib pajak tadi akan membayar sejumlah uang yang sangat tinggi, itu akan merugikan kepentingannya. Begitupun sebaliknya, apabila terjadi peningkatan produksi, nilai pajak yang tetap itu akan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan negara dalam melaksanakan administrasinya.
Dalam hal pemungutan dan pengadministrasian pajak, ada sejumlah departemen yang bertanggungjawab dalam menangani berbagai pungutan pajak dan keuangan. Dan Baitul Mal sebagai pusat atau koordinator dari departemen tersebut, yang merupakan kantor perbendaharaan dan keuangan negara, yang dikenal sejak awal Islam.
Dalam pandangannya tentang masalah tanah dan pertanian, Abu Yusuf mengemukakan dalam Kitab al-Kharaj:
Menggarap tanah tak produktif sangat dihargai oleh Rasulullah SAW dan menyia-nyiakannya sangat tidak disukai. Itu mengikuti hadist Rasulullah SAW: “Pemilik asli tanah itu adalah Allah SWT dan Rasulullah SAW dan kalian sesudah itu. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (tak digarap) merupakan perbuatan yang amat mulia.

Untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
Abu Yusuf juga memberikan pandangannya terhadap mekanisme pasar. Abu Yusuf menyatakan dalam Kitab al-Kharaj:
Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.

Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan timbal balik antara penawaran dan harga. Pendapat umum yang berkembang saat ini menyatakan apabila barang yang tersedia sedikit maka kemungkinan harganya pun akan mahal begitupun sebaliknya, apabila jumlah barang yang tersedia banyak, maka harganya akan murah. Namun, pada kenyatannya terbentuknya harga dalam pasar tidak hanya bergantung pada segi penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf adalah pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga. Seperti dikemukakan beliau dalam Kitab al-Kharaj bahwa hasil panen pertanian yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung.
Muh. Nejatullah Siddiqi, seorang pakar ekonomi Islam, berpendapat bahwa penjelasan Abu Yusuf tentang hubungan antara penyediaan barang dan harga tidak dibahas secara mendalam dan nasihatnya terhadap aturan yang menentang pengawasan harga yang tidak diimbangi dengan penjelasan secara menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.
Muh. Nejatullah Siddiqi, berkesimpulan bahwa pandangan Abu Yusuf terletak pada penekanan atas pekerjaaan umum, seperti dalam bidang penyediaan sarana irigasi dan jalan raya. Dia juga menyarankan sejumlah aturan dalam hal pengukuran jaminan pembangunan untuk memajukan sektor pertanian.

V. Karya

Disela-sela kesibukannya sebagai murid, guru, hakim dan sebagai pejabat penting dalam kehakiman, Imam Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang berpengaruh besar dalam memperbaiki system pemerintahan dan peradilan serta penyebaran Mazhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah sebagai berikut :
1. Kitab al-Asar, yang memuat hadist yang diriwayatkan beliau dari ayah dan gurunya. Dari hadist-hadist tersebut ada yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, ada yang sampai kepada sahabat, dan ada pula yang sampai kepada tabiin.
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Laila, yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka. Juga memuat kritik keras Imam Abu Hanifah terhadap ketetapan peradilan yang dibuat oleh Ibnu Abi Laila dala memutuskan perkara.
3. Kitab ar-Radd ‘ala Siyar al-Auza’i. Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan pendapat Abdurrahman al-Auza’i tentang masalah perang dan jihad.
4. Kitab al-Kharaj, yang merupakan kitab terpopuler diantara karya-karya Abu Yusuf. Didalam kitab ini, beliau menuangkan pemikiran fikihnya dalam berbagai aspek, diantaranya seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan, dan musyawarah.
Selain kitab-kitab diatas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang sejarawan, masih banyak buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris), dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat). Abu Yusuf juga menulis Al Jawami, buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid.

VI. Kesimpulan

1. Ekonomi Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi dunia. Hanya saja, kenyataan bahwa ekonomi Islam pernah mengalami masa kejayaan selama beberapa abad, dibelokkkan oleh pemikiran kapitalis. Padahal jauh sebelum adanya pemikiran kapitalis, sejumlah pemikir Islam telah memberikan sumbangan pemikirannnya yang sangat besar terhadap ekonomi dunia, walaupun para pemikir Islam tersebut berasal dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda.
2. Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi terfokus pada bidang perpajakan dan pengolahan lahan pertanian, yang dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga memberikan pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga. Abu Yusuf memberikan pandangan yang singkat, jelas, dan padat dalam permasalahan ekonomi.
3. Dalam masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan sistem pajak yang proporsional, seimbang dan berdasarkan prinsip keadilan.
4. Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
5. Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan pandangan yang berbeda dengan pendapat umum, dimana harga yang mahal bukan berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah bukan berarti jumlah barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan pembentukan harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga.

Pokok-Pokok Pemikiran Baqr Shadr

  • DISTRIBUSI DALAM ISLAM
Shadr menjelaskan bahwasannya terdapat unsur-unsur dalam sistem distribusi islam. Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur primer berupa kerja dan kebutuhan serta unsur sekunder berupa kepemilikan. Selanjutnya shadr membagi distribusi menjadi 2 bagian : Pertama, distribusi praproduksi yang membahas tinjauan islam terhadap faktor-faktor produksi antara lain faktor utama yang terdiri dari tanah, sumber tanah, sumber tambang, air, sumber yang ada di laut serta faktor turunan berupa kerja dan modal. Kedua distribusi pasca produksi yaitu dengan melihat pendapatan sebagai hasil dari proses produksi.

  • PRODUKSI DALAM ISLAM
Muhammad Baqir shadr merinci berbagai aturan islam berkaitan dengan proses produksi antara lain:
Islam mencabut hak atas tanah dari pemiliknya. Apabila tanah tersebut menganggur, maka negara berhak mengambil alih tanah tersebut.
Islam tidak memperbolehkan negara memberikan alokasi sumber daya alam tertentu kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Islam melarang penghasilan yang tidak melalui kerja.
Islam melarang adanya bunga serta menghapus modal pokoknya sehingga modal tersebut akan beralih menjadi modal produktif dalam masyarakat islam.
Islam melarang menghimpun harta dan menariknya dari peredaran serta membekukannya (Shadr, 1991; 620-6270).
Setelah shadr menampilkan secara rinci hukum islam yang berkaitan dengan aktivitas produksi, selanjutnya shadr merangkum pendapat islam tentang produksi dalam 3 bagian :
Pertama aktivitas produksi dalam Islam harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh masyarakat
Kedua,Produksi publik dalam Islam hendaknya tidak menyebabkan pemborosan.
Ketiga, Islam memberikan hak Prerogatif kepada pemimpin yang adil dalam suatu negara untuk melakukan intervensi dalam bidang produksi. (Shadr 1991 : 653 ).

  • PERAN NEGARA DALAM ISLAM
Menurut Shadr negara hendaknya mengambil dua bentuk dalam menjamin kesejahteraan masyarakat, pertama jaminan sosial yakni negara dituntut membuka peluang atau memberikan kesempatan kerja serta mendorong pada masyarakat agar bersungguh-sungguh dalam melakukan aktivitas ekonomi, namun disisi lain negara juga harus menyadarai bahwa tidak seluruh warga dapat terserap dalam lapangan pekerjaan, maka disinilah konsep jaminan sosial diberlakukan.Kedua, keseimbangan sosial untuk mendukung kerja lainnya Shadr menemukan dua hal, pertama menetapkan aspek legal dalam Islam yang menunjang aktivitas ekonomi yaitu kewajiaban melakukan zakat dengan mengatur mekanisme pelaksanaannya, kedua, menciptakan sektor-sektor publik yang berfungsi dalam mendukung roda perekonomian seperti membentuk lembaga keuangan.


  • Karya-karyanya

Muhammad Baqir Shadr semasa hidupnya telah banyak memberikan kontribusi kepada khasanah intelektual Islam lewat karya-karya baik berupa buku, arrtikel maupun pamflet. Sejauh ini Shadr telah menghasilkan sembilan judul buku yang telah disusun dalam Majmual Shayid Muhammad Baqir Shadr ( Bairut : Dar al Firk ), 32 artikel dan risalah yang meliputi bidang Ushul, Filsafat, Politik, Tafsir serta Ekonomi.
Karya-karya beliau dalam bentuk buku yaitu :
Fadak fi al-Tarikh ( Fadak in History ), 1957
Filsafatuna, 1959
Igtishaduna ( Our Economics ) 1961
Al-Usus al-Mantagiyya lil Istigrta ( The Logical Basis of Institute ) 1972
Al-Fatawa al-Wahida
Durus fi’ilm al-Ushul
Al-Ma’alim al Jadidah lil Ushul
Buhuth fi Sharh al Irwah al Wathqa
Karya-karya Ekonomi
Igtishaduna ( Our economics )
Al-Bank Al-la Ribawi fi Al-Islam
Al-Nazriyah Al-Islamiyah li-Tawzi